Thursday, February 28, 2013

Furunkulosis, Penyakit Kulit Akibat Infeksi Kuman


Apakah anda atau anak anda sering terkena penyakit kulit karena alergi atau infeksi? Tahukah anda kalo penyakit kulit itu tidak lah sama jenis maupun obatnya. Maka hati-hatilah mengobati penyakit kulit anda dengan obat-obat yang sering ditemukan dipasaran, salah-salah penyakit kulit anda tambah parah jadinya. Ulasan ini adalah tentang salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi, yang sangat sering ditemukan di masyarakat terutama pada anak-anak. Furunkolosis namanya, adalah salah satu bentuk daripada pioderma. Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki tempat ketiga terbanyak, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi.
Furunkolosis dapat menimbulkan komplikasi yang fatal. Salah satunya adalah furunkel maligna yaitu furunkel yang timbul pada daerah segitiga yang dibatasi oleh bibir atas dan pinggir lateral kedua mata, oleh karena dapat meluas ke dalam intra kranial. Masalah lain yaitu bisa terjadi penyebaran bakteri yang lebih dalam atau lebih luas sehingga bisa juga terjadi selulitis atau bakterimia. Dan apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus, furunkel menjadi sering kambuh. Berikut akan dipaparkan dari penyebab, patogenesis, sampai penanganannya.
Mengenai Pengertian dari Penyakit ini
Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus atau oleh keduanya. Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila furunkelnya lebih dari satu maka disebut furunkolosis.
Penyebaran
Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki tempat ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi.
Furunkel lebih sering pada musim panas, karena banyak berkeringat. Dari segi umur onsetnya dapat terjadi pada anak-anak dan juga orang muda. Frekuensinya lebih banyak pada anak laki-laki.
Etiologi  / Penyebab
Etiologinya kebanyakan oleh  Staphylococcus aureus, merupakan sel-sel berbentuk bola atau coccus Gram positif yang berpasangan berempat dan berkelompok. Staphylococcus aureus merupakan bentuk koagulase positif, ini yang membedakannya dari spesies lain, dan merupakan patogen utama bagi manusia. Pada Staphylococcus koagulase negatif merupakan flora normal manusia. Staphylococcus menghasilkan katalase yang membedakannya dengan streptococcus.
Faktor Predisposisi yang mempengaruhi munculnya penyakit ini
Sebenarnya yang mempengaruhi untuk terjadinya pioderma, khususnya furunkel atau furunkolosis ada tiga faktor yaitu faktor host, agent, dan lingkungan.
Faktor host
  1. higinis yang jelek
  2. diabetes militus
  3. kegemukan
  4. sindrom hiper Ig E
  5. carier kronik S. aureus (hidung)
  6. gangguan kemotaktik
  7. ada penyakit yang mendasari seperti HIV
  8. sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit tidak utuh bisa juga karena garukan atau sering bergesekan)
Agent : biasanya S. aureus
Lingkungan
  1. lingkungan yang kotor atau kebersihannya jelek
  2. iklim panas
Patofisiologi, Patogenesis, Patologi
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai terjadinya pioderma antara lain faktor host, agent, dan lingkungan seperti yang telah dipaparkan diatas dimana adanya ketidak seimbangan antara ketiga faktor tersebut. Staphylococcus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel. Peptidoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini merupakan penting dalam potogenitas infeksi : zat ini menyebabkan monosit membuat interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonik, dan zat ini juga menjadi zat kimia penarik (kemotraktan) untuk leukosit polimorfonuklear, mempunyai aktifitas mirip endotoksin, mengaktifkan komplement.
Patologi prototipe lesi staphylococcus adalah furunkel atau abses setempat lainnya. Kelompok-kelompok S. aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan nekrosis jaringan. Koagulase dihasilkan dan mengkoagulasi fibrin disekitar lesi dan didalam saluran getah bening, mengakibatkan pembentukan dinding yang membatasi preses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan kemudian jaringan fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses mengarah pada daerah yang daya tahannya paling kecil, setelah jaringan nekrotik mengalir keluar, rongga secara perlahan-lahan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.
Gambaran Klinik
Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga menimbulkan folikulitis dan perifolikulitis, tampak sebagai nodus kemerahan dan sangat nyeri. Pada keadaan yang berat dapat disertai gejala demam, malaise, dll. Setelah 2-4 hari terjadi proses supurasi dan terbentuk abses ini dapat diketahui dengan adanya fluktuasi. Pada bagian tengah lesi terdapat bintik kekuningan yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul (core). Bila abses pecah inti jaringan nekrotik tersebut akan keluar. Perawatan khusus ialah pada furunkel maligna yaitu furunkel yang timbul pada daerah segitiga yang dibatasi oleh bibir atas dan pinggir lateral kedua mata, oleh karena dapat meluas ke dalam intra kranial. Masalah lain yaitu bisa terjadi penyebaran bakteri yang lebih dalam atau lebih luas sehingga bisa juga terjadi selulitis atau bakterimia. Dan apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus, furunkel menjadi sering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada daerah yang berambut misalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak, bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah yang banyak bergesekan.
Efloresensi, lesi awal berupa infiltrat kecil, membesar membentuk nodul eritematosa berbentuk kerucut, nyeri, terdapat core (mata bisul), kemudian melunak menjadi abses, pecah, terbentuk ulkus.
Bagaimana Mendiagnosisnya.
Diagnosis furunkel atau furunkolosis kebanyakan dapat ditegakkan secara klinis mengingat gambaran klinisnya yang khas yaitu lesi awal berupa infiltrat kecil, membesar membentuk nodul eritematosa berbentuk kerucut, nyeri, terdapat core (mata bisul), kemudian melunak menjadi abses, pecah, terbentuk ulkus. Tetapi untuk lebih menegakkan diagnosisnya yaitu dari segi :
  1. anamnesis : timbul bisul atau benjolan yang nyeri dan ada matanya.
  2. pemeriksaan fisik khususnya efloresensi nodul eritema berbentuk kerucut, dan ditengahnya terdapat core
  3. pemeriksaan penunjang : pengecatan Gram, kultur dan tes sensitivitas
Diagnosis banding
Diagnosis banding furunkolosis adalah folikulitis dan karbunkel. Antara furunkolosis dan folikulitis dapat dibedakan dari segi efloresensinya kalau pada folikulitis berupa macula eritematus, papul, pustula, tidak terdapat core dan jaringan disekitarnya tidak meradang. Antara furunkolosis dengan karbunkel, dapat dibedakan dari segi efloresensinya mirip dengan furunkel hanya saja ukurannya lebih besar dan mata bisulnya lebih dari satu. Dan biasanya sering dijumpai pada penderita DM.
Komplikasi
Berikut adalah beberapa komplikasi furunkel:
  1. furunkel malignan : yaitu furunkel yang timbul pada daerah segitiga yang dibatasi oleh bibir atas dan pinggir lateral kedua mata, oleh karena dapat meluas ke dalam intra kranial melalui vena facialis dan anguular emissary dan juga pada vena tersebut tidak mempunyai katup sehingga menyebar ke sinus cavernosus yang nantinya bisa menjadi meningitis.
  2. selulitis bisa terjadi apabila furunkel menjadi lebih dalam dan meluas.
  3. bakterimia dan hematogen : bakteri berada di dalam darah dapat mengenai katup jantung, sendi, spine, tulang panjang, organ viseral khususnya ginjal
  4. furunkel yang berulang, hal ini disebabkan oleh higine yang buruk
Tentang Penatalaksanaan / Pengobatannya
Adapun penatalaksanaan untuk furunkelatau furunkolosisi adalah sebagai berikut:
  1. Topikal
Topical diberikan salep yang mengandung basitrasin dan neomisin, asam fusidat , natrium fusidat atau yang mengandung mupirosin. Bila terjadi ulkus atau lesi masih eksudatif dilakukan kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/ 5000, larutan rivanol 0,1% atau povidin iodine 5%-10%.
  1. Sistemik
Sistemik diberikan antibiotic, seperti
Koksasilin 3 x 500 mg per oral/ hari selama 5-7 hari atau
Sefadroksil 2 x 500 mg peroral/ hari selama 10-14 hari
Bila alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin
Pada furunkel maligna diberikan sefotaksim 1 gram intramuskuler per 8 jam selama 10 hari.
Prognosis
Umumnya baik. Asalkan mendapatkan penanganan yang adekuat dan faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang baik bila terjadi komplikasi.
Infeksi Kulit Necrotizing
Defenisi
Infeksi kulit necrotizing, termasuk necrotizing cellulitis dan necrotizing fasciitis, adalah bentuk berat dari selulit yang ditandai dengan kematian pada jaringan terinfeksi (necrosis).
  • Kulit terinfeksi berwarna merah, hangat sewaktu disentuh, dan kadangkala bengkak, dan gelembung gas bisa terbentuk di bawah kulit.
  • Orang tersebut biasanya merasa sangat sakit dan mengalami demam tinggi.
  • Pengobatan meliputi pengangkatan kulit mati, yang kadangkala membutuhkan operasi menyeluruh, dan pemberian antibiotik secara infus.
Kebanyakan infeksi kulit tidak menghasilkan kematian pada kulit dan jaringan di sekitarnya. Kadangkala, meskipun begitu, infeksi bakteri bisa menyebabkan pembuluh darah kecil pada daerah yang terinfeksi menggumpal. Penggumpalan ini menyebabkan jaringan yang diberi makan oleh pembuluh ini mati karena kekurangan darah. Karena pertahanan kekebalan tubuh yang mengalir melalui aliran darah (seperti sel darah putih dan antibodi) bisa tidak lagi mencapai daerah ini, infeksi tersebut menyebar cepat dan kemungkinan sulit dikendalikan. Kematian bisa terjadi, bahkan dengan pengobatan yang sesuai.

Beberapa infeksi kulit necrotizing menyebar di dalam kulit sepanjang permukaan otot (fascia) dan disebut necrotizing fasciitis. Infeksi kulit necrotizing lainnya menyebar pada lapisan kulit bagian luar dan disebut necrotizing cellulitis. Beberapa bakteri lain, seperti streptococcus dan clostridia, bisa menyebabkan infeksi kulit necrotizing, meskipun pada kebanyakan orang infeksi tersebut disebabkan oleh kombinasi bakteri. Infeksi streptococcal khususmya diberi istilah penyakit ‘flesh-eating’ oleh media massa, meskipun hal itu sedikit berbeda dari yang lainnya.
PENYEBAB
Beberapa infeksi kulit necrotizing diawali pada luka tusuk atau pencabikan, terutama sekali luka yang terkontaminasi oleh kotoran dan serpihan. Infeksi lain diawali pada sayatan operasi atau bahkan kulit yang sehat. Kadangkala orang dengan diverticulitis, pelubangan usus, atau tumor pada usus mengalami infeksi necrotizing pada dinding perut, daerah kelamin, atau paha. Infeksi ini terjadi ketika bakteri melarikan diri dari usus dan menyebar ke kulit. Bakteri tersebut bisa pada awalnya menciptakan abses pada rongga perut dan menyebar cepat keluar kulit, atau mereka bisa menyebar melalui aliran darah menuju kulit dan organ lain.
GEJALA
Gejala seringkali diawali hanya sebagaimana selulitis. Kulit tersebut bisa terlihat pucat pada awalnya, tetapi cepat menjadi merah atau merah tua, panas bila disentuh, dan kadangkala menjadi bengkak. Kemudian, kulit menjadi violet, seringkali dengan terbentuknya lepuhan besar yang berisi cairan (bullae). Cairan yang berasal dari lepuhan ini berwarna coklat, berair, dan kadangkala berbau tidak sedap. Daerah pada kulit yang mati menjadi hitam (ganggren). Beberapa jenis infeksi, termasuk yang disebabkan oleh clostridia dan bakteri gabungan, menghasilkan gas. Gas tersebut menciptakan gelembung di bawah kulit dan kadangkala pada lepuhan itu sendiri, menyebabkan kulit terasa pecah ketika ditekan. Awalnya, daerah yang terinfeksi terasa sangat sakit, tetapi dengan matinya kulit, saraf berhenti bekerja dan daerah tersebut kehilangan rasa.

Penderita biasanya merasa sangat sakit dan mengalami demam tinggi, detak jantung yang cepat, dan penurunan mental berkisar dari pusing sampai tidak sadarkan diri. Tekanan darah bisa turun karena racun yang dikeluarkan oleh bakteri dan reaksi tubuh terhadap infeksi (septic shock).
DIAGNOSA
Seorang dokter membuat diagnosa pada infeksi kulit necrotizing berdasarkan pada apa yang terlihat, terutama sekali kehadiran gelembung gas di bawah kulit. Sinar-X bisa menampilkan gas di bawah kulit dengan baik. Bakteri spesifik meliputi yang diidentifikasikan oleh analisa laboratorium pada cairan yang terinfeksi dan contoh jaringan. Meskipun begitu, pengobatan harus dimulai sebelum seorang dokter bisa memastikan bakteri mana yang menyebabkan infeksi.
PENGOBATAN
Keseluruhan tingkat kematian adalah sekitar 30%. Orang yang lebih tua, mereka yang memiliki gangguan medis lainnya, dan dimana penyakit tersebut telah dimulai dan tingkat lanjutan memiliki hasil yang menyedihkan. Penundaan pada diagnosa dan pengobatan dan pengangkatan secara operasi yang tidak cukup pada jaringan yang mati memperburuk prognosis.
Pengobatan untuk necrotizing fasciitis adalah operasi pengangkatan pada jaringan yang mati ditambah terapi antibiotik secara infus. Dalam jumlah banyak kulit, jaringan, dan otot harus sering diangkat, dan dalam beberapa kasus, tangan atau kaki yang terkena harus diamputasi. Beberapa dokter menganjurkan pengobatan dalam ruangan oksigen tekanan tinggi (hyperbaric), tetapi hal ini tidak jelas seberapa bisa membantu.




DAFTAR PUSTAKA




1. Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, p. 110-112 , 379-381
2. Duarsa, W., Pindha, S., Bratiartha, Adiguna, S., Wardhana, Darmada, Wiraguna, Nusantara, A. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar, Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar, 2007, p. 27-28
3. Freeberg, I.M., Elsen, A.Z., Wolff, K. Fitzpatrieks Dermatology in General Med, 6 th ed, McGraw Hill, 2003, vol 2 p. 1856-1863.
4. Fitzpatrieks Color atlas and Synopsis of Clinical Dermatologg, 5 th ed, McGraw Hill, 2003, p. 595-597
5. Katzung, B.G. Basic & Clinical Pharmacology, 9 th ed, McGraw Hill, 2004, p. 801-806
6. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi kedua, EGC, Jakarta, 2004, p. 80-81, 84-87
7. Jawetz, dkk., Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC , 1996.



No comments:

Post a Comment