BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI
Konsep Dasar
1.
Pengertian
§
Benigna
Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah
pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh
karena hiperplasi beberapa
atau semua komponen
prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars
prostatika ( Lab / UPF Ilmu
Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 193
).
§
BPH
adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat
( secara umum pada
pria lebih tua
dari 50 tahun
) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral
dan pembatasan aliran
urinarius ( Marilynn, E.D,
2000 : 671 ).
1. Etiologi
Penyebab yang
pasti dari terjadinya
BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar
prostat sangat tergantung
pada hormon androgen.
Faktor lain yang
erat kaitannya dengan
BPH adalah proses
penuaan Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
1). Dihydrotestosteron
Peningkatan 5
alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan
hormon estrogen -
testoteron
Pada proses
penuaan pada pria
terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan
hiperplasi stroma.
3). Interaksi stroma
- epitel
Peningkatan epidermal
gorwth factor atau
fibroblast growth factor
dan penurunan transforming
growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4). Berkurangnya sel
yang mati
Estrogen yang
meningkat menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma
dan epitel dari
kelenjar prostat.
5). Teori sel
stem
Sel stem
yang meningkat mengakibatkan proliferasi
sel transit ( Roger
Kirby, 1994 : 38 ).
Patofisiologi
Peningkatan Sel Sterm Peningkatan 5 Alfa
reduktase Proses
Menua Interaksi Sel
Epitel dan Stroma
Berkurangnya sel yang mati
dan
reseptor endogen
Ketidakseimbangan hormon
( Estrogen dan testoteron )
Penyempitan Lumen Ureter Protatika
Menghambat Aliran Urina
Retensi
Urina Peningkata
tekanan intra vesikal
Hidro Ureter Hiperirritable pada bladder
Hidronefritis Peningkatan
Kontraksi Otot detrusor dari buli-buli
Penurunanan Hipertropi Otot
detrusor,trabekulasi
Fungsi ginjal
Terbentuknya Sekula-sekula dan difertikel
buli-buli
Frekuensi Intermiten Disuria Urgensi Hesistensi Terminal
dribling
4. Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan
oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma
Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Gejala Obstruktif yaitu :
a.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan
seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor
buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.
Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing
yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.
Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing.
d.
Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber
pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.
Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas.
2.
Gejala Iritasi yaitu :
a.
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
b.
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari
biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
2. Diagnosis
Untuk menegakkan
diagnosis BPH dilakukan
beberapa cara antara
lain
1). Anamnesa
Kumpulan gejala
pada BPH dikenal
dengan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms)
antara lain: hesitansi,
pancaran urin lemah,
intermittensi, terminal dribbling,
terasa ada sisa
setelah miksi disebut
gejala obstruksi dan
gejala iritatif dapat
berupa urgensi, frekuensi
serta disuria.
2) Pemeriksaan Fisik
§
Dilakukan
dengan pemeriksaan tekanan
darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan
kesakitan pada retensi
urin akut, dehidrasi
sampai syok pada
retensi urin serta
urosepsis sampai syok - septik.
§
Pemeriksaan
abdomen dilakukan dengan
tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan
pyelonefrosis. Pada daerah
supra simfiser pada
keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi
terasa adanya ballotemen
dan klien akan
terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan
untuk mengetahui ada
tidaknya residual urin.
§
Penis
dan uretra untuk
mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma
maupun fimosis.
§
Pemeriksaan
skrotum untuk menentukan
adanya epididimitis
§
Rectal
touch / pemeriksaan colok dubur
bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan
unit vesiko uretra
dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat
dari BPH, yaitu :
a). Derajat I
= beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II
= beratnya antara
20 – 40 gram.
c). Derajat III =
beratnya > 40 gram.
3)
Pemeriksaan Laboratorium
§ Pemeriksaan
darah lengkap, faal
ginjal, serum elektrolit
dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh
data dasar keadaan
umum klien.
§ Pemeriksaan
urin lengkap dan
kultur.
§ PSA
(Prostatik Spesific Antigen)
penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
4)
Pemeriksaan
Uroflowmetri
Salah satu
gejala dari BPH adalah melemahnya
pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin
dapat diperiksa dengan
uroflowmeter dengan penilaian :
a). Flow
rate maksimal > 15 ml /
dtk =
non obstruktif.
b). Flow
rate maksimal 10 – 15 ml / dtk =
border line.
c). Flow
rate maksimal < 10 ml /
dtk =
obstruktif.
5)
Pemeriksaan
Imaging dan Rontgenologik
a).
BOF (Buik
Overzich ) :Untuk melihat adanya
batu dan metastase
pada tulang.
b). USG
(Ultrasonografi), digunakan
untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat
juga keadaan buli – buli
termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan
secara transrektal, transuretral
dan supra pubik.
c). IVP
(Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk
melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya
hidronefrosis.
d) Pemeriksaan
Panendoskop
Untuk mengetahui
keadaan uretra dan
buli – buli.
3. Penatalaksanaan
Modalitas terapi
BPH adalah :
1).
Observasi
Yaitu pengawasan
berkala pada klien
setiap 3 – 6 bulan
kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2).
Medikamentosa
Terapi ini
diindikasikan pada BPH
dengan keluhan ringan,
sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit. Obat yang
digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis
rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang
alfa blocker dan
golongan supresor androgen.
3).
Pembedahan
Indikasi pembedahan
pada BPH adalah :
a). Klien yang
mengalami retensi urin
akut atau pernah
retensi urin akut.
b).
Klien
dengan residual urin > 100 ml.
c).
Klien
dengan penyulit.
d).
Terapi
medikamentosa tidak berhasil.
e).
Flowmetri
menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat
dilakukan dengan :
a).
TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 -
95 % )
b).
Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c).
Perianal Prostatectomy
d).
Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4).
Alternatif
lain (misalnya: Kriyoterapi,
Hipertermia, Termoterapi, Terapi
Ultrasonik .
B. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin
timbul adalah sebagai berikut
:
Pre Operasi :
1).
Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi
mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2).
Nyeri ( akut
) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3).
Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis..
4).
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
atau menghadapi prosedur bedah
5).
Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1) Nyeri
berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
3)
Resiko tinggi
cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4)
Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5)
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan
kurang informasi
6)
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai
efek pembedahan
B. Perencanaan
1.
Sebelum Operasi
a.
Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan
obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi
3)
Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup,
tidak teraba distensi kandung kemih
4)
Rencana tindakan dan rasional
1.
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila
tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi
berlebihan pada kandung kemih
2.
Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan
pancaran urina
R /
Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3.
Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan
tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.
Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi
jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan
meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari
pertumbuhan bakteri
5.
Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung
kemih dan mempercepat penyembuhan
b.
Nyeri (
akut ) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1).
Tujuan
Nyeri
hilang / terkontrol.
2).
Kriteria hasil
Klien melaporkan
nyeri hilang /
terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi
untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur /
istirahat dengan tepat.
3).
Rencana tindakan
dan rasional
a)
Kaji nyeri,
perhatikan lokasi, intensitas
( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam,
intermitten dengan dorongan
berkemih / masase
urin sekitar kateter
menunjukkan spasme buli-buli,
yang cenderung lebih berat
pada pendekatan TURP (
biasanya menurun dalam
48 jam ).
b)
Pertahankan patensi
kateter dan sistem
drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan
dan bekuan.
R/
Mempertahankan fungsi kateter
dan drainase sistem,
menurunkan resiko distensi
/ spasme buli - buli.
c). Pertahankan
tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama
fase akut.
d)
Berikan tindakan kenyamanan
( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi,
pijatan punggung ) dan aktivitas
terapeutik.
R / Menurunkan
tegangan otot, memfokusksn
kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/
Meningkatkan perfusi jaringan
dan perbaikan edema
serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
f)
Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R /
Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan
yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh
tetap terpelihara.
2). Kriteria
hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda
-tanda vital stabil,
nadi perifer teraba,
pengisian perifer baik, membran mukosa
lembab dan keluaran
urin tepat.
3). Rencana
tindakan dan rasional
a). Awasi
keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan
volume total karena ketidakl cukupan
jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b). Pantau masukan
dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan
penggantian.
c).
Awasi
tanda-tanda vital, perhatikan
peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/
Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan
tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan
hemeostatis sirkulasi.
g).
Kolaborasi
dalam memantau pemeriksaan
laboratorium sesuai indikasi,
contoh:
Hb / Ht, jumlah
sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi,
jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah /
kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi misalnya
penurunan faktor pembekuan
darah,
d.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status
kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.
2). Kriteria
hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat
tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan
penurunan rasa takut.
3). Rencana tindakan
dan rasional
a). Dampingi
klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk
membantu
b). Memberikan
informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari
suatu tindakan.
c). Dorong
pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada
pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
e.
Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1).
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit
dan prognosisnya.
2). Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup
atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3). Rencana tindakan
dan rasional
a).
Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan
perhatian.
R /
Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman
pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan
dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
II.
Sesudah operasi
1.
Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih
dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri
berkurang atau hilang.
Kriteria hasil
:
-
Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
-
Ekspresi wajah klien tenang.
-
Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
-
Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana
tindakan :
1.
Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung
kemih.
R/ Kien dapat
mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.
Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48
jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya
spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3.
Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan
berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu
klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.
Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke
seputar kateter.
R/ Mengurang
kemungkinan spasmus.
5.
Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang
lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.
Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan
nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
7.
Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk
mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan
distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.
Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.
Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan
(analgesik atau anti spasmodik )
R /
Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus
kandung kemih.
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien
tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
-
Klien tidak mengalami infeksi.
-
Dapat mencapai waktu penyembuhan.
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada
tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.
Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan
kateter dengan steril.
R/ Mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi
2.
Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 )
sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi
dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.
Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari
refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.
Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda
shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5.
Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/
Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.
Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk
mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan .
Tujuan: Tidak
terjadi perdarahan.
Kriteria
hasil:
-
Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal .
-
Urine lancar lewat kateter .
Rencana
tindakan:
1.
Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan
setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan
kecemasan klien dan mengetahui tanda –
tanda perdarahan
2.
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm
saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat
kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3.
Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat
untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan
peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4.
Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan
rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan
perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat
waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas .
R/ Traksi kateter
menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda
vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan
warna urine
R/ Deteksi awal
terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan
yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi
seksual dapat dipertahankan
Kriteria
hasil:
-
Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
-
Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
-
Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
-
Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana
tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh
TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah
klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti
semula dan kejadian ejakulasi retrograd
(air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat
membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan
ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah
sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk
mengklarifikasi kekhatiran dan
memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan
berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
-
Klien akan melakukan perubahan perilaku.
-
Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan
mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana
tindakan:
1.
Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama
3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2.
Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB
selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas
tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak
tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3.
Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan
darah .
4.
Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
6. Gangguan
pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan:
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
-
Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang
cukup.
-
Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
-
Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.
Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan
tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/
meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
.
2.
Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan .
R/ Suasana
tenang akan mendukung istirahat
3.
Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang
dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA
Long, B.C.,
1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu
Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta ,
Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Lab /
UPF Ilmu
Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan
Terapi. Surabaya ,
Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat
Hiperplasia. Airlangga
University Press. Surabaya
Soeparman.
(1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta .
No comments:
Post a Comment