BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Setiap bagian dari saluran gastrointestinal bawah rentan
terhadap inflamasi akut yang disebabkan oleh infeksi akibat bakteri, virus,
atau jamur. Salah satunya adalah apendisitis. Apendisitis adalah peradangan
dari apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang
pada manusia fungsinya tidak diketahui, dan sering menimbulkan masalah
kesehatan.
Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera
untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Komplikasi yang sering
ditemukan adalah perforasi. Adanya fekalit, umur (orangtua atau anak muda), dan
keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita di atas usia
60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orangtua
adalah adanya gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens
tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan
kurang sempurna, akibat perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang. Perforasi apendiks ini akan mengakibatkan terjadinya peritonitis
purulenta.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik
untuk membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada apendisitis perforasi,
sehingga dapat menambah ilmu untuk kita semua terutama bagi penulis dan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
1.2.
Tujuan
Dengan adanya makalah ini,
diharapkan perawat dapat lebih optimal lagi dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan apendisitis perforasi, meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
BAB II
ISI
2.1.
DEFINISI
Apendisitis adalah
suatu peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut
(Price & Wilson, 1994).
Apendisitis perforasi ditandai dengan apendiks yang pecah
atau bahkan hancur (Soeparman & Sarwono, 1998).
2.2.
ANATOMI
Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15
cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
di bagian distal. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insidens apendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Pada
kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Gejala
klinik apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persyarafan
parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior
dan a.apendikularis, sedangkan persyarafan simpatis berasal dari n.torakalisX.
karena itu nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Pendarahan
apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren.
2.3.
FISIOLOGI
Apendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoidtissue) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran
cerna dan seluruh tubuh.
2.4.
ETIOLOGI
Tanda
patogenik primer diduga karena obstruksi lumen, biasanya oleh fekalit (feses
keras). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan pembengkakan,
infeksi dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebabkan oklusi
end-artery apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus,
biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren dan perforasi. Dalam penelitian
terakhir telah ditemukan bahwa ulserasi mukosa merupakan langkah awal dari
terjadinya pada lebih dari separuh kasus, lebih sering daripada sumbatan pada
lumen (Silven, 1991). Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai
sekarang telah dipostulasikan bahwa penyebabnya adalah virus.
Sumbatan
lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica.
Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
2.5.
PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan
oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit,
benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila
semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
2.6.
MANIFESTASI KLINIS
Perforasi
jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi insidensi meningkat
tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui preoperatif pada 70% kasus,
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan
leukositosis terutama PMN, akibat perforasi dan pembentukan abses (Soeparman
& Sarwono, 1998).
Menurut
Arif Mansjoer dkk (2000), perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama,
tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas.
2.7.
DIAGNOSIS
Menurut
Sjamsuhidajat (1998), perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis
purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi
seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans
muskuler di seluruh perut, mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka
kanan; peristalsis usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
Kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritonium bisa terjadi bila pus
yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses
rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses. Ultrasonografi
membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan
dengan abses hati, pneumoni basal, atau efusi fleura. Ultrasonografi dan foto
rontgent dada membantu membedakannya.
2.8.
PENATALAKSANAAN
Perbaikan keadaan umum dengan
infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Perlu
dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritonium dari pus maupun pengeluaran fibrin secara adekuat
dengan mudah dan dapat pula dilakukan pembersihan kantong nanah secara baik.
Karena
ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan
penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah
dipastikan tidak ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang penyalir
intraperitoneal karena justru menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.
2.9.
ASUHAN KEPERAWATAN
Dasar data
pengkajian pasien:
Ø
Aktifitas / istirahat
Gejala : kelemahan
Tanda : kesulitan ambulasi
Ø Sirkulasi
Gejala : takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi
(tanda Syok)
Edema jaringan
Ø Eliminasi
Gejala : ketidakmampuan defekasi dan flatus
Diare (kadang-kadang)
Tanda : cegukan, distensi abdomen; abdomen diam
Penurunan haluaran urin, warna gelap
Penurunan / tak ada bising usus (ileus);
bunyi keras hilang timbul, bising usus kasar (obstruksi); kekakuan abdomen,
nyeri tekan. Hiperesonan / timpani (ileus); hilang suara pekak di atas hati
(udara bebas dalam abdomen)
Ø Makanan
/ cairan
Gejala : anorexia, mual/muntah; haus
Tanda : muntah proyektil
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk
Ø Nyeri
/ kenyamanan
Gejala :
nyeri abdomen tiba-tiba berat, umu atau lokal, menyebar ke bahu, terus menerus
oleh gerakan
Tanda : distensi,
kaku, nyeri tekan
Otot tegang (abdomen); lutut fleksi, perilaku
distraksi; gelisah; fokus pada diri sendiri
Ø Pernafasan
Tanda : pernafasan dangkal, takipnea
Ø Keamanan
Gejala :
riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis); infeksi pasca melahirkan, abses
retroperitoneal
Ø Pemeriksaan
Diagnostik
JDL : SDP
meningkat kadang-kadang lebih dari 20.000. SDM mungkin meningkat, menunjukkan
hemokonsentrasi.
Protein/albumin serum
: mungkin menurun karena perpindahan cairan
Amilase serum :
biasanya meningkat
Elektrolit serum :
hipokalemia mungkin ada
GDA : alkalosis
respiratori dan asidosis metabolik mungkin ada
Kultur :
organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah, eksudat / sekret atau
cairan asites
Pemeriksaan foto
abdominal : dapat menyatakan distensi usus / ileum. Bila perforasi visera
sebagai etiologi, udara bebas ditemukan pada abdomen
Foto dada :
dapat menyatakan peninggian diafragma
Parasentesis :
contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, pus/eksudat, amilase, empedu,
dan kreatinin
Prioritas Keperawatan:
- Kontrol infeksi
- Perbaiki / pertahankan volume sirkulasi
- Tingkatkan kenyamanan
- Pertahankan nutrisi
- Berikan informasi tentang proses penyakit, kemungkinan komplikasi, dan kebutuhan pengobatan
Tujuan Pemulangan:
- Infeksi teratasi
- Komplikasi tercegah / minimal
- Nyeri hilang
- Proses penyakit, potensial komplikasi, dan program terapi dipahami
Diagnosa Keperawatan:
1.
Resiko tinggi infeksi terhadap septikemia b.d tidak
adekuatnya pertahanan primer (kulit rusak, trauma jaringan, gangguan
peristaltik); tidak adekuat pertahanan sekunder (penekanan imunologi); prosedur
invasif.
Kriteria evaluasi:
·
Meningkatnya penyembuhan pada waktunya; bebas
drainase purulen atau eritema; tidak demam
·
Menyatakan pemahaman penyebab individu / faktor
resiko
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
Catat faktor resiko individu,
contoh trauma abdomen, apendisitis akut, dialisa peritoneal.
|
Mempengaruhi pilihan intervensi.
|
Kaji tanda vital dengan sering,
catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi, penurunan tekanan nadi,
takikardia, demam, takipnea.
|
Tanda adanya syok septik,
endotoksin sirkulasi menyebabkan vasodilatasi, kehilangan cairan dari
sirkulasi, dan rendahnya status curah jantung.
|
Catat perubahan status mental
(contoh bingung, pingsan).
|
Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis
dapat menyebabkan penyimpangan status mental.
|
Catat warna kulit, suhu,
kelembaban.
|
Hangat, kemerahan, kulit kering
adalah tanda dini septikemia. Selanjutnya manifestasi termasuk dingin, kulit
pucat lembab dan sianosis sebagai tanda syok.
|
Awasi haluaran urin.
|
Oligoria terjadi sebagai akibat
penurunan perfusi ginjal, toksin dalam sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
|
Pertahankan teknik aseptik ketat
pada perawatan drein abdomen, luka insisi / terbuka, dan sisi invasif.
Bersihkan dengan betadine atau larutan lain yang tepat.
|
Mencegah meluas dan membatasi
penyebaran organisme infektif / kontaminasi silang.
|
Observasi drainase pada luka /
drein.
|
Memberikan informasi tentang status
infeksi.
|
Pertahankan teknik steril bila
pasien dipasang kateter / kebersihan perineal rutin.
|
Mencegah penyebaran, membatasi
pertumbuhan bakteri pada traktus urinarius.
|
Awasi / batasi pengunjung dan staf
sesuai kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi bila diindikasikan.
|
Menurunkan resiko terpajan pada /
menambah infeksi sekunder pada pasien yang mengalami tekanan imun.
|
Kolaborasi:
Ambil contoh / awasi hasil
pemeriksaan seri darah, urine, kultur luka.
|
Mengidentifikasi mikroorganisme dan
membantu dalam mengkaji keefektifan program antimikrobial.
|
Berikan antimikrobial, contoh
gentamisin, amikasin, klindamisin, lavase pritoneal/IV.
|
Terapi ditujukan pada bakteri
anaerob dan basil aerob gram negatif. Lavase dapat digunakan untuk membuang
jaringan nekrotik dan mengobati inflamasi yang terlokalisasi / menyebar
dengan buruk.
|
Siapkan untuk intervensi bedah bila
dinidikasikan.
|
Pengobatan pilihan (kuratif) pada
peritonitis akut atau lokal, contoh untuk drainase abses lokal, membuang
eksudat peritoneal, membuang ruptur apendiks / kandung empedu, mengatasi
perforasi ulkus, atau reseksi usus.
|
2.
Kekurangan volume cairan b.d perpindahan cairan
dari ekstraseluler, intravaskuler, dan area interstisial ke dalam usus dan/atau
area peritoneal; muntah, aspirasi NG/usus; demam; secara medik cairan dibatasi.
Kriteria evaluasi:
·
Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan
dibuktikan oleh haluaran urine adekuatdengan berat jenis normal, tanda vital
stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler meningkat,
dan berat badan dalam rentang normal.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
Pantau tanda vital, catat adanya
hipotensi (termasuk perubahan postural) takikardia, takipnea, demam. Ukur CVP
bila ada.
|
Membantu dalam evaluasi derajat
defisit cairan/keefektifan penggantian terapi cairan dan respons terhadap
pengobatan.
|
Pertahankan masukan dan haluaran
yang akurat dan hubungkan dengan BB harian. Termasuk pengukuran / perkiraan
kehilangan contoh penghisapan gaster, drein, balutan, hemovac, keringat,
lingkar abdomen.
|
Menunjukkan status hidrasi
keseluruhan. Keluaran urin mungkin menurun pada hipovolemia dan penurunan
perfusi ginjal, tetapi BB masih meningkat, menunjukkan edema jaringan/asites.
Kehilangan dari penghisapan gaster mungkin besar, dan banyaknya cairan tertampung
pada usus dan area peritoneal (asites).
|
Ukur berat jenis urine.
|
Menunjukkan status hidrasi dan
perubahan pada fungsi ginjal akut pada respons terhadap hipovolemia,
mempengaruhi toksin.
|
Observasi kulit / membran mukosa
untuk kekeringan, turgor. Catat edema perifer / sakral.
|
Hipovolemia, perpindahan cairan,
dan kekurangan nutrisi memperburuk turgor kulit, menambah edema jaringan.
|
Hilangkan tanda bahaya / bau dari
lingkungan.
|
Menurunkan rangsangan pada gaster
dan respon muntah.
|
Ubah posisi dengan sering, berikan
perawatan kulit dengan sering, dan pertahankan tempat tidur kering dan bebas
lipatan.
|
Jaringan edema dan adanya gangguan
sirkulasi cenderung merusak kulit.
|
Kolaborasi:
Awasi pemeriksaan laboratorium,
contoh Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
|
Memberikan informasi tentang
hidrasi, fungsi organ. Berbagai gangguan dengan konsekuensi tertentu pada
fungsi sistemik mungkin sebagai akibat dari perpindahan cairan, hipovolemia,
hipoksemia, toksin dalam sirkulasi, dan produk jaringan nekrotik.
|
Berikan plasma / darah, cairan,
elektrolit, diuretik, sesuai indikasi.
|
Mempertahankan volume sirkulasi dan
keseimbangan elektrolit.
|
Pertahankan puasa dengan aspirasi
NG/intestinal.
|
Menurunkan hiperaktivitas usus dan
kehilangan dari diare.
|
3.
Nyeri (akut) b.d iritasi kimia peritonium perifer
(toksin); trauma jaringan; distensi abdomen.
Kriteria evaluasi:
·
Laporan nyeri hilang / terkontrol
·
Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi,
metode lain untuk meningkatkan kenyamanan.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
Selidiki laporan
nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0 – 10) dan karakteristiknya
(dangkal, tajam, konstan).
|
Perubahan dalam
lokasi / intensitas tidak umu tetapi dapat menunjukkan terjadinya komplikasi.
Nyeri cenderung menjadi konstan, lebih hebat, dan menyebar ke atas; nyeri
dapat lokal bila terjadi abses.
|
Pertahankan posisi
semi fowler sesuai indikasi.
|
Memudahkan
drainase cairan/luka karena gravitasi dan membantu meminimalkan nyeri karena
gerakan.
|
Berikan tindakan
kenyamanan, contoh pijatan punggung, nafas dalam, latihan relaksasi /
visualisasi.
|
Meningkatkan
relaksasi dan mungkin meningkatkan kemampuan koping pasien dengan memfokuskan
kembali perhatian.
|
Berikan perawatan
mulut dengan sering. Hilangkan rangsangan lingkungan yang tidak menyenangkan.
|
Menurunkan
mual/muntah, yang dapat meningkatkan tekanan/nyeri intraabdomen.
|
Kolaborasi:
Berikan obat
sesuai indikasi:
Analgesik,
narkotik.
Antiemetik
Antipiretik
|
Menurunkan laju
metabolik dan iritasi usus karena toksin sirkulasi / lokal, yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
Menurunkan
mual/muntah, yang dapat meningkatkan nyeri abdomen.
Menurunkan
ketidaknyamanan b.d demam, menggigil.
|
4.
Resiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh b.d mual/muntah, disfungsi usus; abnormalitas metabolik;
peningkatan kebutuhan metabolik.
Kriteria evaluasi:
·
Mempertahankan BB dan keseimbangan nitrogen
positif
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
Awasi haluaran selang NG. Catat
adanya muntah/diare.
|
Jumlah besar dari aspirasi gaster
dan muntah/diare diduga terjadi obstruksi usus, memerlukan evaluasi lanjut.
|
Auskultasi bising usus, catat bunyi
tak ada / hiperaktif.
|
Meskipun bising usus sering tak
ada, inflamasi/iritasi usus dapat menyertai hiperaktifitas usus, penurunan
absorpsi air dan diare.
|
Ukur lingkar abdomen.
|
Memberikan bukti kuantitas
perubahan distensi gaster / usus dan / atau akumulasi asites.
|
Timbang BB dengan teratur.
|
Kehilangan / peningkatan dini
menunjukkan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada defisit
nutrisi.
|
Kaji abdomen dengan sering untuk
kembali ke bunyi yang lembut, penampilan bising usus normal, dan kelancaran
flatus.
|
Menunjukkan kembalinya fungsi usus
ke normal dan kemampuan untuk menilai masukan per oral.
|
Kolaborasi:
Awasi BUN, protein, albumin,
glukosa,
|
Menunjukkan fungsi organ dan
|
keseimbangan nitrogen sesuai
indikasi.
|
status/kebutuhan nutrisi.
|
Tambahkan diet sesuai toleransi,
contoh cairan jernih sampai lembut.
|
Kemajuan diet yang hati-hati saat
masukan nutrisi dimulai lagi menurunkan resiko irigasi gaster.
|
Berikan hiperalimentasi sesuai
indikasi.
|
Meningkatkan penggunaan nutrien dan
keseimbangan nitrogen positif pada pasien yang tak mampu mengasimilasi
nutrien dengan normal.
|
5.
Ansietas /
ketakutan b.d krisis situasi; ancaman kematian/perubahan status kesehatan;
faktor fisiologis, status hipermetabolik.
Kriteria evaluasi:
·
Menyatakan kesadaran terhadap perasaan dan cara
yang sehat untuk menghadapi masalah.
·
Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat
ditangani.
·
Tampak rileks.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
Evaluasi tingkat ansietas, catat
respon verbal dan non verbal pasien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.
|
Ketakutan dapat terjadi karena
nyeri hebat, meningkatkan perasaan sakit, penting pada prosedur diagnostik
dan kemungkinan pembedahan.
|
Berikan informasi tentang proses
penyakit dan antisipasi tindakan.
|
Mengetahui apa yang diharapkan dapt
menurunkan ansietas.
|
Jadwalkan istirahat adekuat dan
periode menghentikan tidur.
|
Membaatasi kelemahan, menghemat
energi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
|
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
·
Apendisitis perforasi ditandai dengan apendiks
yang pecah atau bahkan hancur.
·
Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama,
tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas.
·
Perforasi apendiks akan mengakibatkan
peritonitis purulenta.
·
Penanganan sebelum dilakukan pembedahan:
perbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik dan penghisapan nasogastrik.
Laparotomi dapat dilakukan.
3.2.
SARAN
Dalam
memberikan asuhan keperawatan, perawat hendaknya:
·
Melakukan pengkajian sesuai dengan konsep
teoritis apendisitis perforasi.
·
Menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan
data-data yang ditemukan pada klien.
·
Menetapkan intervensi yang tepat sesuai dengan
diagnosa yang muncul pada klien.
·
Melakukan intervensi yang telah ditetapkan
secara optimal.
·
Melakukan evaluasi terhadap setiap tindakan yang
telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif
Mansjoer, dkk. (2000). Kapita selekta kedokteran jilid 2. Jakarta : Media
Ausculapius FKUI.
Smeltzer,
Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Vol. 2. Jakarta :
EGC.
Doenges,
Marilynn. (2002). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :
EGC.
Price
& Wilson. (1994). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Buku 1. Jakarta :
EGC.
Sjamsoehidajat.
(1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC.
Soeparman
& Sarwono. (1998). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : FKUI.
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Apendisitis
Perforasi”, yang diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan praktek profesi
Keperawatan Medikal Bedah.
Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing akademik dan
pembimbing klinik praktek profesi Keperawatan Medikal Bedah yang telah
membimbing dan memberi masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya.
Penulis
telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam
penulisan makalah ini, namun penulis juga menyadari keterbatasan penulis baik
dari segi ilmu, pengetahuan maupun pengalaman sehingga penulis berharap adanya
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan dalam penulisan
makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk
kita semua.
Penulis
No comments:
Post a Comment